Tiada amal anak Adam yang lebih disukai Allah pada hari Aidiladha melainkan ibadat korban. Sesungguhnya binatang yang dikorbankan itu akan datang pada hari kiamat lengkap dengan tanduk, bulu dan kukunya. Sesungguhnya ibadat korban ini diredhai Allah sebelum darah binatang itu jatuh ke bumi. Maka hendaklah kamu berasa lapang dada dan reda akan ibadat korban yang kamu lakukan.” (Hadis riwayat At-Tirmizi)
Setiap kali ketibn hari raya Idul Adha 1431 Hijriah, perhatian kita banyak tertuju kepada jemaah haji yang sedang melaksanakan sejumlah ibadah pokok ibadah haji di Mekkah.
Idul Adha tidak terpisahkan dengan ibadah haji kerana itu ia juga selalu disebut ”Idul Haj”. Idul Adha dikenal pula ”Idul Korban”—momen saat kaum Muslimin melaksanakan ibadah korban dengan menyembelih haiwan sembelihan.
Idul Adha di negara ini memang tidak dirayakan semeriah Idul Fitri. Tetapi, juga jelas, Idul Adha atau Idul Korban mengandung banyak nilai, makna, dan semangat penting bagi kehidupan pribadi dan sosial yang tetap relevan dan perlu peneguhan dalam kehidupan berbangsa.
Ibadah haji dan ibadah korban mengandung makna hampir sama—peningkatan semangat mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan ilahiah dan kemanusiaan. Penunaian ibadah haji memerlukan kemampuan (istitha’ah) finansial tidak sedikit untuk biaya perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan, di samping kemampuan jasmani dan rohani.
Seseorang pada dasarnya tidak disarankan pergi ke Tanah Suci jika hanya mampu membayar ongkos naik haji, tetapi meninggalkan keluarganya terlunta-lunta. Pertimbangan terjaminnya kehidupan keluarga menjadi sangat penting sebelum seorang Muslim menunaikan ibadah haji.
Ibadah haji dan korban memiliki distingsi khusus dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain kerana sekaligus menyangkut hubungan dengan Tuhan (habl min Allah) dan hubungan sesama manusia (habl min al-nas). Penting ditekankan, hubungan manusia dengan Tuhan tak dapat mencapai kesempurnaan jika tidak disertai hubungan baik dengan sesama manusia.
Hubungan manusia dengan Tuhan tak dapat mencapai kesempurnaan jika tidak disertai hubungan baik dengan sesama manusia.
Kedua ibadah ini merupakan ibadah khas untuk mendaki ”kenaikan spiritual”—mencapai posisi (maqam) lebih tinggi. Setiap mereka yang menunaikan ibadah haji pasti ingin mencapai derajat haji mabrur, yaitu ibadah haji yang penuh kesempurnaan dan kebajikan. Derajat haji mabrur seyogianya tecermin pula dalam berbagai kebajikan kemanusiaan ketika kembali ke tempat masing-masing.
Ibadah korban, sesuai dengan kandungan makna qurban, juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib, dekat dengan Tuhan, sekaligus dengan manusia lain. Haiwan sembelihan korban mendekatkan hubungan dan ikatan batin mereka yang berharta dengan orang-orang tak berpunya, yang mungkin makan daging hanya sekali setahun ketika diberi daging korban.
Ibadah haji dan ibadah koorban dengan penekanan kuat terhadap pengorbanan untuk solidaritas kemanusiaan senantiasa relevan dalam kehidupan. Oleh karena itu, aktualisasi semangat, nilai dan keutamaan berkrban seyogianya tidak terbatas pada Idul Adha dan Idul Korban; mesti terus diteguhkan dari waktu ke waktu. Peneguhan semangat berkorban jelas sangat mendesak.
Pemantapan semangat dan nilai berkorban menghadapi banyak tantangan. Di tengah gelombang kehidupan materialistik dan hedonistik terlihat adanya kemerosotan sensitivitas dan solidaritas sosial di kalangan bangsa; dan ironisnya hal itu terjadi di lingkungan pemimpin.
Namun, pada pihak lain, terdapat kalangan masyarakat yang dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari justru memberikan ”korban” yang mereka salurkan melalui berbagai organisasi, lembaga, dan kelompok ”prihatin bencana”.
Gejala ini membangkitkan keharuan tentang masih bertahannya semangat pengorbanan dalam masyarakat kita, yang mesti tetap perlu peneguhan kerana boleh jadi berbagai bencana bakal melanda Tanah Air.
Setiap kali ketibn hari raya Idul Adha 1431 Hijriah, perhatian kita banyak tertuju kepada jemaah haji yang sedang melaksanakan sejumlah ibadah pokok ibadah haji di Mekkah.
Idul Adha tidak terpisahkan dengan ibadah haji kerana itu ia juga selalu disebut ”Idul Haj”. Idul Adha dikenal pula ”Idul Korban”—momen saat kaum Muslimin melaksanakan ibadah korban dengan menyembelih haiwan sembelihan.
Idul Adha di negara ini memang tidak dirayakan semeriah Idul Fitri. Tetapi, juga jelas, Idul Adha atau Idul Korban mengandung banyak nilai, makna, dan semangat penting bagi kehidupan pribadi dan sosial yang tetap relevan dan perlu peneguhan dalam kehidupan berbangsa.
Ibadah haji dan ibadah korban mengandung makna hampir sama—peningkatan semangat mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan ilahiah dan kemanusiaan. Penunaian ibadah haji memerlukan kemampuan (istitha’ah) finansial tidak sedikit untuk biaya perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan, di samping kemampuan jasmani dan rohani.
Seseorang pada dasarnya tidak disarankan pergi ke Tanah Suci jika hanya mampu membayar ongkos naik haji, tetapi meninggalkan keluarganya terlunta-lunta. Pertimbangan terjaminnya kehidupan keluarga menjadi sangat penting sebelum seorang Muslim menunaikan ibadah haji.
Ibadah haji dan korban memiliki distingsi khusus dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain kerana sekaligus menyangkut hubungan dengan Tuhan (habl min Allah) dan hubungan sesama manusia (habl min al-nas). Penting ditekankan, hubungan manusia dengan Tuhan tak dapat mencapai kesempurnaan jika tidak disertai hubungan baik dengan sesama manusia.
Hubungan manusia dengan Tuhan tak dapat mencapai kesempurnaan jika tidak disertai hubungan baik dengan sesama manusia.
Kedua ibadah ini merupakan ibadah khas untuk mendaki ”kenaikan spiritual”—mencapai posisi (maqam) lebih tinggi. Setiap mereka yang menunaikan ibadah haji pasti ingin mencapai derajat haji mabrur, yaitu ibadah haji yang penuh kesempurnaan dan kebajikan. Derajat haji mabrur seyogianya tecermin pula dalam berbagai kebajikan kemanusiaan ketika kembali ke tempat masing-masing.
Ibadah korban, sesuai dengan kandungan makna qurban, juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib, dekat dengan Tuhan, sekaligus dengan manusia lain. Haiwan sembelihan korban mendekatkan hubungan dan ikatan batin mereka yang berharta dengan orang-orang tak berpunya, yang mungkin makan daging hanya sekali setahun ketika diberi daging korban.
Ibadah haji dan ibadah koorban dengan penekanan kuat terhadap pengorbanan untuk solidaritas kemanusiaan senantiasa relevan dalam kehidupan. Oleh karena itu, aktualisasi semangat, nilai dan keutamaan berkrban seyogianya tidak terbatas pada Idul Adha dan Idul Korban; mesti terus diteguhkan dari waktu ke waktu. Peneguhan semangat berkorban jelas sangat mendesak.
Pemantapan semangat dan nilai berkorban menghadapi banyak tantangan. Di tengah gelombang kehidupan materialistik dan hedonistik terlihat adanya kemerosotan sensitivitas dan solidaritas sosial di kalangan bangsa; dan ironisnya hal itu terjadi di lingkungan pemimpin.
Namun, pada pihak lain, terdapat kalangan masyarakat yang dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari justru memberikan ”korban” yang mereka salurkan melalui berbagai organisasi, lembaga, dan kelompok ”prihatin bencana”.
Gejala ini membangkitkan keharuan tentang masih bertahannya semangat pengorbanan dalam masyarakat kita, yang mesti tetap perlu peneguhan kerana boleh jadi berbagai bencana bakal melanda Tanah Air.