Sakanikang rat kita yang wenang manut.
Manupadesa prihatah rumaksaya.
Ksayanikang papa nahan prayojana.
Jananuragaadi twin kapangguha.
(Dipetik dari Kekawin Ramayana)
Maksudnya:
Perubahan zaman itu hendaknya engkau ikuti. Cari dan kuasailah ajaran Bhagawan Manu. Melenyapkan penderitaan rakyat itulah hendaknya sebagai tujuanmu. Cinta kasih rakyat padamu pasti engkau jumpai.
BAIT Kekawin Ramayana yang saya kutip itu adalah bagian dari nasihat Sri Rama kepada Bharata. Nasihat Rama itu muncul saat Bharata ditugaskan memimpin Ayodya selama Sri Rama menjalani pengembaraan rohani di hutan. Sri Rama menasihati Bharata sebagai adiknya yang akan ditugaskan mengemban tugas-tugas kenegaraan sebagai seorang pemimpin. Kondisi perpolitikan suatu negara pada hakikatnya sangat ditentukan oleh perilaku para pemimpin yang berpolitik dalam suatu negara.
Nasihat Sri Rama dalam Kekawin Ramayana dikutip di atas bagian kecil dari konsep berpolitik menurut ajaran Hindu. Pemimpin yang terjun ke dunia politik seharusnya berpolitik berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya dan Dharma) dengan tujuan mengabdi pada aspirasi rakyat melalui sistem yang normatif.
Karena itu, Sri Rama menasihati Bharata agar mengikuti aspirasi rakyat (Sakanikang raat). Bukan malahan menjilat mengikuti kehendak sang penguasa yang mengabaikan kebenaran dan kehendak rakyat. Sri Rama juga menekankan kepada para pemimpin untuk memahami dan menggunakan ajaran Mpu (Manuupadesa prihatah rumaksaya).
Ajaran Mpu adalah ajaran yang bersumber dari kitab suci Veda. Ajaran Manu inilah yang dianjurkan oleh Sri Rama sebagai pegangan pemimpin dalam melakukan berbagai aktivitasnya, termasuk kegiatan berpolitik. Dengan berpegang pada ajaran Manu itu pemimpin hendaknya menciptakan kebijakan politik yang benar-benar bijak.
Kebijakan politik yang benar-benar bijak dilakukan berdasarkan: kebenaran, suara hati nurani dan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Ksayanikang papa nahan prayojana.
Demikian dinyatakan dalam kutipan Kekawin Ramayana di atas. Mengatasi penderitaan rakyat itulah hendaknya yang menjadi tujuan kita berpolitik. Situasi politik akan benar-benar rusak apabila mereka yang punya akses di suprastruktur politik menciptakan dan melakukan basa-basi politik yang jauh dari prinsip-prinsip politik.
Berpolitik yang menyimpang dari norma-norma politik tidak semuanya dapat dijangkau oleh hukum. Lebih-lebih dalam situasi penegakan hukum yang masih jauh dari keadilan dan memihak pada yang kuat, bukan pada yang benar. Seperti melakukan ''politik uang'' melakukan penekanan dengan segala cara. Menggunakan wibawa atau pengaruh untuk memenangkan kehendak segelintir orang dengan cara-cara yang tidak bermoral.
Penyimpangan berpolitik seperti itu bagaikan kentut. Mudah dicium susah dilihat, apalagi dipegang. Celah-celah hukum pun akan dijadikan pijakan untuk memainkan politik agar terhindar dari sanksi hukum. Kekuasaan dan anggaran yang dikuasainya pun akan dihambur-hamburkan untuk mereka yang memuji-muji dan patuh pada kehendaknya. Apalagi dalam keadaan krisis multidimensi ini, mudah sekali mencari pendukung bayaran.
Caru-marutnya dunia politik karena lemahnya komitmen moral dan penegakan prinsip-prinsip politik yang normatif. Kegiatan beragama pun dapat dijadikan media pembenar untuk melakukan politik demi suksesnya tujuan mendapatkan kekuasaan politik. Kenyataan-kenyataan perilaku berpolitik seperti itulah timbul istilah ''politik itu kotor''.
Di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai suci agama, seharusnya citra jelek dunia politik itu dapat diperbaiki. Misalnya dengan cara mengubah sistem perekrutan dalam memunculkan para politisi.
Dengan demikian, sistem perekrutan itu dapat menjaring politisi yang memiliki idealisme untuk mengabdi berdasarkan kebenaran dan kepentingan rakyat. Sistem perekrutan untuk memunculkan para politisi yang tidak berpegang pada prinsip-prinsip moral, akan memunculkan politisi yang haus kedudukan, uang dan fasilitas.
Kalau politisi seperti itu banyak yang tampil di jajaran struktur politik maka dinamika politik pun akan terus keruh mengarah pada keadaan yang tidak kondusif. Kepentingan sempit para politisilah yang akan terus diutamakan. Sedangkan kebijakan politik yang memperjuangkan tegaknya kebenaran dan nasib rakyat menjadi terabaikan. Sistem religi sebagai pengejawantahan kehidupan beragama harus terus diberdayakan. Mengupayakan sistem religi yang kuat untuk menggetarkan hati nurani para politisi agar dinamika politik menjadi fokus untuk menegakkan kebenaran, demokrasi dan kesejahteraan rakyat yang adil. Dinamika politik jangan hanya untuk memenangkan kehendak mereka yang punya kuasa dan punya uang, kehendak rakyat diabaikan.
Tulisan ini sengaja saya indonesiakan untuk mengenang masa silam saya semasa di Indonesia. Kutipan kitab Hindu ini saya pelajari semasa mengambil mata pelajaran sosiologi bagi mengkaji penduduk Bali,Pulau Bali Indonesia. Tulisan ini tiada kait mengait dengan fahaman agama,hanya kebetulan. Tulisan ini merupakan tulisan ilmiah semata-mata.
Manupadesa prihatah rumaksaya.
Ksayanikang papa nahan prayojana.
Jananuragaadi twin kapangguha.
(Dipetik dari Kekawin Ramayana)
Maksudnya:
Perubahan zaman itu hendaknya engkau ikuti. Cari dan kuasailah ajaran Bhagawan Manu. Melenyapkan penderitaan rakyat itulah hendaknya sebagai tujuanmu. Cinta kasih rakyat padamu pasti engkau jumpai.
BAIT Kekawin Ramayana yang saya kutip itu adalah bagian dari nasihat Sri Rama kepada Bharata. Nasihat Rama itu muncul saat Bharata ditugaskan memimpin Ayodya selama Sri Rama menjalani pengembaraan rohani di hutan. Sri Rama menasihati Bharata sebagai adiknya yang akan ditugaskan mengemban tugas-tugas kenegaraan sebagai seorang pemimpin. Kondisi perpolitikan suatu negara pada hakikatnya sangat ditentukan oleh perilaku para pemimpin yang berpolitik dalam suatu negara.
Nasihat Sri Rama dalam Kekawin Ramayana dikutip di atas bagian kecil dari konsep berpolitik menurut ajaran Hindu. Pemimpin yang terjun ke dunia politik seharusnya berpolitik berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya dan Dharma) dengan tujuan mengabdi pada aspirasi rakyat melalui sistem yang normatif.
Karena itu, Sri Rama menasihati Bharata agar mengikuti aspirasi rakyat (Sakanikang raat). Bukan malahan menjilat mengikuti kehendak sang penguasa yang mengabaikan kebenaran dan kehendak rakyat. Sri Rama juga menekankan kepada para pemimpin untuk memahami dan menggunakan ajaran Mpu (Manuupadesa prihatah rumaksaya).
Ajaran Mpu adalah ajaran yang bersumber dari kitab suci Veda. Ajaran Manu inilah yang dianjurkan oleh Sri Rama sebagai pegangan pemimpin dalam melakukan berbagai aktivitasnya, termasuk kegiatan berpolitik. Dengan berpegang pada ajaran Manu itu pemimpin hendaknya menciptakan kebijakan politik yang benar-benar bijak.
Kebijakan politik yang benar-benar bijak dilakukan berdasarkan: kebenaran, suara hati nurani dan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Ksayanikang papa nahan prayojana.
Demikian dinyatakan dalam kutipan Kekawin Ramayana di atas. Mengatasi penderitaan rakyat itulah hendaknya yang menjadi tujuan kita berpolitik. Situasi politik akan benar-benar rusak apabila mereka yang punya akses di suprastruktur politik menciptakan dan melakukan basa-basi politik yang jauh dari prinsip-prinsip politik.
Berpolitik yang menyimpang dari norma-norma politik tidak semuanya dapat dijangkau oleh hukum. Lebih-lebih dalam situasi penegakan hukum yang masih jauh dari keadilan dan memihak pada yang kuat, bukan pada yang benar. Seperti melakukan ''politik uang'' melakukan penekanan dengan segala cara. Menggunakan wibawa atau pengaruh untuk memenangkan kehendak segelintir orang dengan cara-cara yang tidak bermoral.
Penyimpangan berpolitik seperti itu bagaikan kentut. Mudah dicium susah dilihat, apalagi dipegang. Celah-celah hukum pun akan dijadikan pijakan untuk memainkan politik agar terhindar dari sanksi hukum. Kekuasaan dan anggaran yang dikuasainya pun akan dihambur-hamburkan untuk mereka yang memuji-muji dan patuh pada kehendaknya. Apalagi dalam keadaan krisis multidimensi ini, mudah sekali mencari pendukung bayaran.
Caru-marutnya dunia politik karena lemahnya komitmen moral dan penegakan prinsip-prinsip politik yang normatif. Kegiatan beragama pun dapat dijadikan media pembenar untuk melakukan politik demi suksesnya tujuan mendapatkan kekuasaan politik. Kenyataan-kenyataan perilaku berpolitik seperti itulah timbul istilah ''politik itu kotor''.
Di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai suci agama, seharusnya citra jelek dunia politik itu dapat diperbaiki. Misalnya dengan cara mengubah sistem perekrutan dalam memunculkan para politisi.
Dengan demikian, sistem perekrutan itu dapat menjaring politisi yang memiliki idealisme untuk mengabdi berdasarkan kebenaran dan kepentingan rakyat. Sistem perekrutan untuk memunculkan para politisi yang tidak berpegang pada prinsip-prinsip moral, akan memunculkan politisi yang haus kedudukan, uang dan fasilitas.
Kalau politisi seperti itu banyak yang tampil di jajaran struktur politik maka dinamika politik pun akan terus keruh mengarah pada keadaan yang tidak kondusif. Kepentingan sempit para politisilah yang akan terus diutamakan. Sedangkan kebijakan politik yang memperjuangkan tegaknya kebenaran dan nasib rakyat menjadi terabaikan. Sistem religi sebagai pengejawantahan kehidupan beragama harus terus diberdayakan. Mengupayakan sistem religi yang kuat untuk menggetarkan hati nurani para politisi agar dinamika politik menjadi fokus untuk menegakkan kebenaran, demokrasi dan kesejahteraan rakyat yang adil. Dinamika politik jangan hanya untuk memenangkan kehendak mereka yang punya kuasa dan punya uang, kehendak rakyat diabaikan.
Tulisan ini sengaja saya indonesiakan untuk mengenang masa silam saya semasa di Indonesia. Kutipan kitab Hindu ini saya pelajari semasa mengambil mata pelajaran sosiologi bagi mengkaji penduduk Bali,Pulau Bali Indonesia. Tulisan ini tiada kait mengait dengan fahaman agama,hanya kebetulan. Tulisan ini merupakan tulisan ilmiah semata-mata.
No comments:
Post a Comment